panjikendari.com – Baru-baru ini masyarakat Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, dihebohkan dengan kejadian dimana seorang ibu rumah tangga bernama Wa Tiba (54) dimangsa ular piton, Kamis 14 Juni lalu.
Wa Tiba menjadi korban mangsa seekor ular besar saat ia hendak mengecek kebun jagungnya pada malam hari sekitar pukul 19.00 WiTA. Kebun tersebut berjarak sekitar satu kilometer dari rumahnya.
Belajar dari insiden ini, dokter kegawatdaruratan dan pakar tata kelola gigitan luar, Dr dr Tri Maharani, memberikan tips untuk menghindari gigitan ular.
Menurutnya, masyarakat yang bekerja di daerah dengan kemungkinan habitat ular seperti di kebun, sawah, dan ladang dapat mengurangi risiko gigitan ular dengan menggunakan perlengkapan berupa topi, sepatu bot, dan tongkat.
Tips ini disampaikan dr Tri Maharani menjawab wawancara tertulis pada Minggu, 17 Juni 2018, terkait kasus Wa Tiba, seorang perempuan yang dimangsa oleh ular piton di kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.
Seperti dikutip melalui Antaranews.com, Tri Maharani mengatakan, perlengkapan sederhana tersebut sangat jarang dipakai oleh orang Indonesia sehingga kasus gigitan ular yang mematikan banyak terjadi.
Menurut Tri Maharani, topi sangat berguna untuk menghindari atau mengurangi gigitan dari ular pohon, sedangkan sepatu bot bisa mengamankan kaki saat berjalan di semak-semak dengan kemungkinan tanpa sengaja menginjak ular atau dipatuk ular dan tongkat dapat membantu untuk menyingkirkan ular kecil yang mungkin ada di sekitar tempat kerja.
Mengenai ular sanca, jenis ular tersebut tidak berbisa namun rahang bawahnya merupakan otot yang bisa membuka lebar kira-kira 10 kali kepala manusia, sehingga ular tersebut bisa memangsa korban yang berukuran besar misalnya babi, kambing, rusa bahkan buaya dengan membelit mangsanya hingga mati lemas lalu menelannya.
“Pada dasarnya ular phyton reticularis tidak berbisa dan tidak memangsa manusia kecuali saat terprovokasi misalnya akan dibunuh atau merasa terancam,” kata dokter yang terpilih sebagai satu-satunya dokter Indonesia yang menjadi anggota kelompok kerja Snake Bite Envenoming (SBE) dunia oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Dia menjelaskan, Sulawesi adalah salah satu pulau tua di Indonesia yang memiliki banyak ular sanca berukuran besar dan pada Buku Panduan WHO 2016 tercatat ada tiga kali kasus ular memangsa manusia di Indonesia yaitu pada 1983 di Luwuk, 2017 di Mamuju dan kali ini di Muna.
“Sebenarnya tidak perlu membunuh ular sanca apabila bertemu, cukup menghindari dan tidak mengganggunya karena ular tersebut tidak berbisa, serta untuk menjaga ekosistem” tegas ketua Yayasan Toxinology Society Indonesia dan yayasan bagi anak korban gigitan ular.
Phyton besar biasanya menghuni kebun, sawah, hutan bahkan ada juga yang mendatangi permukiman akibat gangguan ekosistem.
Masyarakat diharapkan waspada dan membawa lampu senter apabila sudah petang dan gelap untuk berjalan di tempat-tempat yang kemungkinan ada ular, sehingga dengan mudah mengetahui dan menghindarinya.
Apabila terkena gigitan ular sanca tidak perlu diberi antivenom penangkal bisa ular, melainkan cukup merawat lukanya dan menghentikan perdarahan, sedangkan bila terjadi robekan pembuluh darah perlu mendapat jahitan dan balutan yang benar, tegasnya.
Kelompok kerja SBE dari WHO terdiri atas 13 anggota yaitu dua dari malaysia dan India,masing-masing satu dari Thailand, Indonesia, Pakistan, Denmark, Jerman dan Inggris serta dari Amerika dan Australia.(ant/jie)