panjikendari.com – Sejumlah pemerintah daerah (Pemda) telah membayarkan tunjangan hari raya (THR) bagi pegawainya.
Namun, anggaran THR dan gaji ke-13 yang dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dikhawatirkan memunculkan masalah baru.
Setidaknya, surat Mendagri itu bakal menjerumuskan kepala daerah sebagai pasien Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Surat Kemendagri itu bisa menggiring banyak kepala daerah ditangkap KPK,” ungkap M Ryaas Rasyid seperti dilansir Telusur, Senin, 4 Juni 2018.
Yang membuat keputusan ini mengancam kepala daerah berurusan dengan KPK adalah di dalam APBD 2018 tidak ada anggaran yang dimasukkan untuk membayar THR dan gaji 13, dan yang lebih monohok lagi adalah poin 6 dan 7 dalam surat edaran Kemendagri.
“Butir 6 dan 7 surat edaran itu bertentangan dengan prinsip anggaran dan berpotensi dituduh sebagai tindak penyalahgunaan wewenang,” jelasnya.
Seperti diketahui, dalam surat yang bernomor 903/3387/SJ dan ditujukan kepada bupati dan walikota di seluruh Indonesia jelas disampaikan bahwa pemberian THR dan gaji 13 yang bersumber dari APBD.
Poin keenam dari surat edaran yang ditandatangani Tjahjo Kumolo itu menyebutkan bagi daerah yang belum menyediakan/tidak cukup tersedia anggaran THR dan gaji 13 dalam ABBD tahun 2018, pemerintah daerah segera menyediakan anggaran THR dan gaji 13 dimaksud dengan cara melakukan penggeseran anggaran yang dananya bersumber dari belanja tidak terduga, penjadwalan ulang kegiatan dan atau menggunakan kas yang tersedia.
Lalu poin ketujuh, penyediaan anggaran THR dan gaji 13 atau penyesuaian nomenklatur anggaran sebagaimana tersebut pada angka 6 dilakukan dengan cara merubah penjabaran APBD tahun 2018 tanpa menunggu perubahan APBD tahun 2018 yang selanjutnya diberitahukan kepada pimpinan DPRD paling lambat 1 bulan setelah dilakukan perubahan penjabaran APBD dimaksud.
Sikap pemerintah yang melimpahkan pembayaran THR dan gaji 13 membuktikan jika pemerintah ingin dipuja dan dipuji tetapi membebani daerah.
“THR dan gaji 13 untuk daerah dibebankan ke APBD. Pemerintah mau populer tapi daerah yang terima bebannya,” ujar Ryaas.
Padahal, lanjut Ryaas, pemerintah pusat tidak boleh intervensi apalagi mendiktekan keinginan mengubah alokasi APBD dan kepala daerah serta tidak boleh mengubah alokasi APBD tanpa persetujuan DPRD. “Intinya butir 6 dan 7 surat Mendagri bisa menggiring kepala daerah jadi pasien KPK,” tandasnya. (bs/jie)