Oleh: Muh. Agus Safar. ST
(Pengurus DPP Konas Jokowi/
Alumni Fakultas Teknik Sipil UHO/Mantan Ketua Ikatan Mahasiswa Teknik Sipil Indonesia)
Korupsi sumber daya alam bukan issue baru bagi penegakan hukum dan pencegahan korupsi di indonesia. KPK sejauh ini sedikitnya telah menjebloskan lebih dari 300 orang yang terlibat dalam patgulipat korupsi SDA. Memang untuk menjerat pelaku, tidak semudah menangkapi pelaku korupsi APBN dan APBD, karena korupsi SDA adalah korupsi yang begitu rumit untuk diurai karena melibatkan fulus mulus yang tidak sedikit. Menurut Laode Syarif mantan komisioner KPK angkanya mencapai triliunan rupiah.
Isu korupsi dari sektor SDA membutuhkan perhatian publik dan penegakan hukum yang serius. Dunia pertambangan yang ramah lingkungan dan bebas korupsi merupakan cita ideal yang harus terus diperjuangkan.
Apabila daerah kaya tambang tapi rakyatnya miskin bahkan IPM rendah, ini merupakan kejahatan terhadap konstitusi dan merendahkan makna negara.
Investasi pertambangan yang tidak mensejahterakan rakyat wajib dihentikan dan para akademisi tetaplah menjadi kekuatan moral dan intelektual, jangan jadi antektual yang memberikan justifikasi pelanggaran atas pengerukan SDA.
Beberapa bulan terakhir di Sulawesi Tenggara dihebohkan dengan banyaknya tambang yang di-policeline karena kasus illegal mining. Sejumlah kasus itu saat ini sedang ditangani oleh Bareskrim Mabes Polri. Hanya saja hingga saat ini, belum ada perkembangan yang menggembirakan.
Padahal beberapa bulan sebelumnya banjir bandang telah merendam banyak wilayah di Konawe Utara, Konawe, dan Konawe Selatan. Kenyataan ini juga turut menjadi perhatian KPK via Laode M. Syarif menengarai ada korupsi sumber daya alam di daerah yang menyebabkan amburadulnya pertambangan di sejumlah daerah yang mengakibatkan laju kerusakan lingkungan tidak terkendali. Akibat dari bencana banjir di Konawe dan Konawe Utara, menyebabkan ribuan jiwa mengungsi, kehilangan tempat tinggal, hilang mata pencaharian dan harta benda, serta trauma. Paling parah, musibah membuat beberapa desa terutama di Konawe Utara, tinggal nama. Rumah-rumah yang mendiami desa itu hilang terseret arus dan sedimentasi lumpur.
Korupsi sumber daya alam di Sulawesi Tenggara bukan pula hal yang baru, sebelumnya KPK telah menangkap Gubernur Sultra Nur Alam terkait tambang AHB di Kabaena, Buhari Matta di Kolaka, dan Aswad Sulaiman di Konawe Utara.
IUP Bermasalah
Untuk waktu hampir dua tahun (2019-2020) Bareskrim Mabes Polri telah menangani kasus tambang bermasalah di Sulawesi Tenggara sedikitnya lebih dari 10 IUP diantaranya adalah PT. Babarina, PT. OSS, PT. WIL, PT. WAI, PT. BOSOSI, PT. RMI, PT. TNI, PT. NPM, PT. Ampa, PT. PNN, PT. Jalumas, PT.Sriwijaya, PT. Wanagon, PT. KMS, PT.CMP. Selain itu tidak kurang dari 20 perusahaan melakukan pengapalan tanpa RKAB hingga berpotensi merugikan negara Rp265 miliar dalam hitungan Dinas ESDM Provinsi Sultra. Hingga saat ini Bareskrim melalui Tim penyidik Tipidter bareskrim Polri baru mampu menetapkan tiga tersangka dari pelaku illegal mining yaitu Direktur PT. PNN, Direktur PT. NPM dan Direktur PT.RMI yang ketiganya hanyalah perusahaan JO dari PT. Bososi yang beroperasi di Kabupaten Konawe Utara.
Disisi yang lain keberadaan IUP pertambangan di Sulawesi Tenggara dikuasai segelintir orang perorang, sehingga satu orang memiliki IUP hingga 12 IUP. Ini adalah salah satu bentuk monopoli potensi sumber daya alam.
Kapitalisme Birokrasi di Pertambangan
Dalam pertemuan dengan Wakil Ketua KPK, Gubernur Sultra Ali Mazi di ruangan rapat Gubernur tanggal 24 Juni 2019, Ali Mazi menyatakan bahwa hanya 2 IUP pertambangan di Sultra yang memiliki CnC dari total 393 IUP dan bandelnya perusahaan tambang untuk mematuhi aturan dan kewajibannya.
Sebelumnya Kadis ESDM Sultra Melalui Kabidnya Yusmin menyatakan 22 perusahaan tambang merugikan Negara sebesar Rp265 miliar karena ketidakpatuhannya (Senin 11 Februari 2019).
Walaupun para pengusa tambang ini telah jelas-jelas melecehkan martabat pemerintah lewat pembangkangannya, sejauh ini belum ada tindakan pencabutan pada IUP yang bermasalah tersebut. Pun dalam pernyataannya ESDM menyatakan 22 tambang tersebut telah diberhentikan sementara.
Kapital Birokrat — KABIR ialah penyalahgunaan kekuasaan oleh kaum birokrat karena memegang kendali kekuasaan negara yang di tingkat nasional hingga tingkat kabupaten atau kota yang secara langsung melayani kepentingan imperialisme untuk memperkaya dirinya sendiri dan keluarga atau untuk mengumpulkan kapital untuk mempertahankan dan menaikkan posisinya dalam pemerintahan.
Di sektor pertambangan, Kabir dalam praktiknya menghalalkan korupsi dan suap untuk mencapai tujuan. Selain itu memberikan jalan tol bagi kroni untuk menguasai sumber daya yang merugikan keuangan Negara dan rakyat. Mereka pada dasarnya tidak peduli dengan nasib mayoritas rakyat, mereka hanya peduli pada profit. Faktanya satu orang dapat memiliki lebih dari 10 IUP, disini peran kabir sulit untuk dipungkiri.
Keengganan Pemerintah Propinsi dalam hal ini Gubernur Sultra Ali Mazi untuk mencabut izin-izin tambang yang bermasalah sesuai saran KPK dan bungkamnya Pemerintah Kabupaten terdampak patut untuk selalu dicurigai dan dipertanyakan. Padahal ketidakpatuhan pengusaha dan berpotensi telah merugikan keuangan Negara hingga ratusan miliyar rupiah sudah cukup menjadi dasar untuk menyetop dan mencabut IUP yang bermasalah dan kemudian menyeretnya ke hadapan hukum. Apa yang ditunggu? Apa hubungan Gubernur dan pengusaha sebagai pemilik IUP?
Jika yang dihitung Dinas ESDM adalah penghasilan pajak mencapai angka Rp. 265 M, bagaimana dengan penerimaan Negara bukan pajak menurut Undang – Undang NO. 9 Tahun 2018?
Penerimaan negara bukan pajak (PNBP) menurut UU No. 9 Tahun 2018 ialah seluruh penerimaan Pemerintah Pusat yang tidak berasal dari penerimaan pajak. Penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam merupakan salah satu jenis PNPB. Sumber daya alam adalah segala kekayaan alam yang terdapat diatas, di permukaan, dan di dalam bumi yang dikuasai oleh Negara. Seluruh PNPB wajib disetor langung secepatnya ke Kas Negara yang dikelola dalam sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Pemerintah telah mengubah jenis dan tarif iuran produksi atau royalti tambang, khususnya untuk komoditas mineral. Peraturan tersebut akan berlaku efektif pada 1 Januari 2020.
Perubahan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 81 Tahun 2019 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Beleid ini menggantikan PP Nomor 9 Tahun 2012.
Asal tahu saja, dalam beleid yang baru, tarif royalti untuk sejumlah komoditas mineral diatur lebih rinci berdasarkan produk dan proses penambangan. Untuk bijih mentah (ore) dikenakan tarif lebih mahal, sedangkan produk tambang yang sudah diolah atau dimurnikan diberikan tarif yang lebih murah.
Tarif royalti untuk bijih nikel dikenakan sebesar 10% dari harga jual per ton. Naik dua kali lipat dari tarif sebelumnya yang hanya sebesar 5%.
Untuk produk lanjutan, tarif royalti dipatok lebih mini. Produk pengolahan berupa nickel matte, misalnya, dipatok sebesar 2% dari harga jual per ton, turun dari tarif sebelumnya yang senilai 4%. Hal yang sama juga berlaku untuk Ferro Nickel (FeNi) yang royaltinya turun dari sebelumnya 4% menjadi 2%.
Perusahaan yang IUP berstatus non CnC diberi peringatan dan jangka waktu untuk menyelesaikan masalah perizinan dan/atau wilayah yang masih tumpang tindih saat melewati batas waktu yang telah ditentukan, pemerintah berhak memberikan sanksi administratif dengan sanksi paling berat berupa pencabutan IUP.
Pemerintah harus tegas dalam melakukan pengawasan dan penegakan peraturan/hukum yang berlaku. Kontribusi PNBP sektor pertambangan merupakan hal yang penting dalam pembangunan Indonesia.
Maka untuk Sulawesi Tenggara yang mayoritas adalah Nikel dapat dihitung dengan persentase di atas. Sudah tentu nilainya lebih fantastis dibanding yang telah diungkap Dinas ESDM via Yusmin. Dari hitungan itulah pernyataan Laode M Syarif yang menyatakan Negara Rugi Triliunan Rupiah dari kejahatan tambang ini menemukan landasannya.
Mendorong Penuntasan Kasus
Pelanggaran adalah pintu masuk POLRI dan KPK dalam penindakan penegakan Hukum atas eksploitasi sumber daya alam Sulawesi Tenggara. Pelanggaran berupa ketidak patuhan, illegal mining dan banyak modus operandi pengusaha tambang nakal yang marak sudah saatnya di hentikan. Jangan sampai banjir turut serta menghanyutkan keadilan yang harusnya tegak.
Pada titik ini keengganan Pemerintah daerah mencabut IUP bermasalah dan lambannya kinerja Kepolisian dalam hal ini Bareksrim Mabes POLRI menuntaskan Kasus melawan Hukum Pengusaha dan perusahaan tambangnya sangat layak untuk di curigai dan di pertanyakan. Padahal untuk “menghabisi” para pelanggar Hukum itu sudah mendapatkan dukungan dari semua lapisan lapisan masyarakat.
Kecurigaan itu dapat dimulai dengan pertanyaan apa yang di takutkan Pemda untuk mencabut IUP bermasalah itu? Apa yang di tunggu Bareskrim hingga demikian lambat bekerja jika berhadapan dengan koorporasi tambang? Siapa yang diuntungkan? Mengalir kemana saja dana uang tidak disetor ke Negara?
Masyarat dan daerah terdampak tentu tidak mendapatkan ke untungan dari sejumlah kasus itu. Karena faktanya masyarakat lingkar tambang sejak pertama kali pertambangan hadir di Sulawesi Tenggara tidak bertambah sejahtera di karenakan masyarakat yang tidak bekerja di pertambangan justeru kehilangan mata pencaharian untuk menafkahi keluarga dan memghadapi kerusakan ekolohi yang luar biasa. Praktis dapat dikatakan masyarakat hanya mendapatkan dampak buruk dari tambang – tambang yang ada.
Mandeknya Proses Hukum bagi tambang – tambang bermasalah di meja Tipidter Bareskrim dan kesan “pembiaran” oleh PEMDA jangan sampai memancing massa rakyat untuk mengambil tindakan sendiri karena kemuakan pada “dagelan” yang di pertontonkan. Seperti mosi tidak percaya pada penegakan hukum dan pemerintahan yang bersih dari korupsi.
Peran Kapolri
Untuk beberapa kasus yang di tangani Mabes Polri, sudah seharusnya Kapolri mengevaluasi Kabareskrim Mabes Polri Komjen Pol. Drs. Listyo Sigit Prabowo, M.Si atas lambannya penuntasan kasus-kasus tambang nakal itu, terlebih Kapolri sendiri dalam beberapa kesempatan berkunjung ke Sultra menegaskan beliau adalah putra daerah. Tentunya sebagai putra daerah Jenderal Idham Azis turut bertanggung jawab untuk memimpin gerak cepat penuntasan kasus yang sudah ada dengan memberi ketegasan deadline dan bila tidak mampu sudah saatnya Kabareskrim mundur dan digantikan yang lebih kompeten. Selain itu di pandang perlu untuk segera memerintahkan Polda Sultra untuk progresif menindak tambang yang di duga melakukan tindak illegal mining dan berpotensi merusak lingkungan dan merugikan keuangan Negara miliyaran rupiah tanpa tebang pilih.
Tentu di akhir masa jabatan dan usia yang memasuki jelang pensiun, ketegasan Kapolri akan menjadi memori dan ukuran kinerja yang indah.
Tentunya untuk mengurai kasus – kasus ini tidaklah begitu sulit, karena pemilik dari Ratusan IUP di Sultra hanya segelintir orang dan saling berkaitan.
Partisipasi Publik dan Media Massa
Carut-marutnya sektor pertambangan di Sulawesi Tenggara perlu perhatian yang serius dari seluruh elemen masyarakat. Karena masalah yang menyangkut sumber daya alam bukan hanya tugas pemerintah saja. Olehnya itu butuh keterlibatan berbagai pihak agar kasus-kasus sumber daya alam tidak menguap begitu saja.
Dan juga, salah satu yang memegang peranan penting dalam mengungkap tuntas kasus per kasus ini adalah media massa. Jurnalis media massa dapat melakukan investigasi mendalam dengan memulai investigasi pada barang bukti yang tak mungkin dibawa sampai ke Mabes Polri seperti Tumpukan Ore dan alat berat yang telah ditahan dan disita, dan memastikan perusahaan yang dihentikan sementara benar-benar tidak melakukan aktivitas pertambangan.
Kepentingan kita bersama kasus-kasus ini dapat dituntaskan demi rakyat, Bangsa dan Negara. Kita tidak ingin penegakan hukum tertinggal di galian Tambang, atau terbawa serta banjir yang melanda daerah kawasan pertambangan. Merdeka! (**)