Oleh: Wahyu Pratama
(Anak Gawang PMII UHO Kendari)
Erwin biasa sahabat atau senior-senior memanggilnya, yang anak gawang/anak kolong seperti saya, memanggilnya Bang Erwin. Bukan saja karena jabatan struktutal di PMII (Bang EG Ketua Umum PMII Sulawesi Tenggara periode 2018-2020) namun sebagai senior di kampus, saya kerap memanggilnya abang. Ya, persisnya Bang Erwin Gayus (selanjutnya dalam tulisan ini saya menggunakan EG).
Sejak menginjakkan kaki di kampus dan secara perlahan mengulik dunia aktivis, nama EG sudah tidak asing di kalangan aktivis Kendari khususnya UHO Kendari. Walau tidak dekat tapi dari perbincangan banyak aktivis, bagi saya bang EG adalah sosok yang bisa diterima semua kelompok.
Sikapnya yang sederhana dan rendah hati menjadikannya sebagai tokoh mahasiswa dan pemuda yang bisa berkawan dengan siapapun,
EG juga sosok pekerja keras, ulet, dan sabar. Saya kira ini modalnya mengelola PMII dengan berbagai dinamika yang terjadi. EG juga sosok enterpreneur yang cukup diandalkan.
Di tengah kelatahan aktivis yang berlomba menjadi politisi, EG justru memutar dari mainstream. Dia justru memilih wirausaha. Saya kira pilihannya menjadi enterpreneur karena dia yakin bahwa ketidakmandirian aktivis mahasiswa dan pemuda salah satunya karena faktor ekonomi.
EG memulai karier aktivisnya dari bawah sampai pada pucuk pimpinan organisasi mahasiswa milik ormas terbesar NU. Dia juga tidak berasal dari keluarga pejabat atau keluarga mapan. Dia lahir dari keluarga yang sederhana sehingga jika hari-hari ini dia menjadi perbincangan karena keberaniannya mengikuti kontestasi KNPI Sultra, saya kira itu karena bentukan kekaderan dan pergaulan yang luas selama menjadi aktivis.
Mengikuti kontestasi organisasi pemuda semacam KNPI Sultra bukan dia tidak tahu akan berhadapan dengan siapa. Dia tahu akan berhadapan dengan para gajah, apalagi konon kabarnya suksesi kali ini telah terkondisi pada salah satu figur.
Namun hal itu tidak lantas menyurutkan mental tarung EG. Saya melihat energi EG justru naik berkali-kali lipat dalam mengkonsolidasi dukungan dalam rangka merengkuh kursi KNPI Sultra.
Keberanian inilah yang membuat para kerabatnya di Cipayung juga tak segan memberi dukungan kepadanya. Sampai disini, saya menyadari sosok EG adalah personifikasi dari obsesi pemuda akan pentingnya sebuah kekuatan alternatif baru di tengah hegemoni kekuasaan dan uang.
EG sedang memainkan apa yang disebut dalam agama sebagai fastabiqul khairat (berlomba dalam kebaikan) sebagai ikhtiar para pemilik suara (OKP) untuk memperoleh pemimpin yang menyentuh kebutuhan asasi kepemudaan saat ini.
Bagi EG, setajam apapun kontestasi nantinya maka pemudalah pemenangnya, semua peserta Musda KNPI harus memantapkan nawaitu-nya terlebih dahulu, untuk apa sebenarnya pemuda Sulawesi Tenggara bermusda.
Nawaitu ini penting untuk melahirkan kegelian bahwa dunia kepemudaan kita sedang tidak baik, gempuran teknologi, Narkoba, radikalisme, isu SARA dan kesenjangan ekonomi akan menjadi bom waktu yang jika tidak ditangani secara dini akan menjadi ledakan yang membahayakan bagi kelangsungan bangsa ini.
Semangat inilah yang menurut saya Bang EG lagi tularkan kepada semua aktivis pemuda di Sulawesi Tenggara. Bahwa menjadi aktivis itu harus menyelami dasar terdalam dari sebuah telaga organisasi.
Kekaderan penting untuk memantapkan khitah organisasi agar selaras dengan perkembangan zaman, bukan ujuq-ujuq lahir sebagai aktivis setelah keluar dari ruangan rias pengantin mama.
Apa yang dikerjakan oleh EG saat ini sebetulnya adalah menjahit tenun Sulawesi Tenggara agar lebih nyaman dan enak dikenakan pemuda Sulawesi Tenggara. Kain KNPI harus dijahit serapi mungkin tentu dengan benang yang diambil dari kapas yang berkualitas, bukan benang sintetis yang kelihatannya asli tapi tidak berkualitas.
Selamat berkompetisi, Maju terus Bang Erwin..!!
Wallahul Muwafiq Ilaa Aqwamith Thoriq Fastabiqul Khoirat Bilahi Taufiq wal hidayah.