panjikendari.com – Gempa bumi di Palu, Donggala, dan Sigi, Sulawesi Tengah, Jumat 28 September 2018, tidak hanya memicu naiknya air laut atau tsunami. Gempa berkekuatan 7,4 magnitudo itu juga disertai llikuifaksi tanah.
Dikutip dari wikipedia, pencairan tanah atau likuifaksi tanah (soil liquefaction) adalah fenomena yang terjadi ketika tanah yang jenuh atau agak jenuh kehilangan kekuatan dan kekakuan akibat adanya tegangan, misalnya getaran gempa bumi atau perubahan ketegangan lain secara mendadak, sehingga tanah yang padat berubah wujud menjadi cairan atau air berat.
Fenomena alam tersebut terjadi pasca gempa mengguncang Palu dan Donggala. Video tentang likuifaksi tanah di Palu tersebar di jagad maya, baik melalui video amatir maupun video kompilasi rekaman citra satelit. Cukup mengerikan!
Dari video amatir terlihat bangunan rumah dan pepohonan bergerak bergeser jauh dari tempat asalnya. Video tersebut direkam oleh seseorang dari atap rumah.
Pergerakan tanah beserta bangunan di atasnya juga terekam citra satelit WorldView resolusi pixel 0.5m. Terlihat banyak bangunan diatasnya terseret dan tenggelam ke dalam tanah.
Dikutip dari Tribunnews.com, menurut catatan BNPB, wilayah yang ‘hilang’ akibat fenomena likuifaksi mencapai 180 hektare dari total keseluruhan seluas Petobo kira-kira 1.040 hektare. Sebanyak 2.050 unit bangunan di Petobo yang rusak karena likuifaksi.
Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menjelaskan, likuifaksi adalah penurunan tanah akibat memadatnya volume lapisan tanah.
“Fenomena ini biasanya terjadi saat gempa bumi terjadi yaitu pada daerah-daerah atau zona-zona dengan tanah yang mengandung air. Misalnya yang sering terjadi itu di dekat pantai atau di daerah gempa, ada lapisan yang mengandung air misalnya tanah pasir,” jelas Dwikorita seperti dikutip dari Liputan6.com.
Mantan Rektor Universitas Gadjah Mada ini memaparkan bahwa likuifaksi terbagi menjadi dua jenis. Ada yang berupa semburan air dari dalam tanah keluar memancar seperti air mancur.
“Bisa juga lapisan pasir itu menjadi padat karena gempa yang sangat kuat dan airnya terperas keluar sehingga mengalir membawa lapisan tanah tadi, jadi seakan-akan hanyut,” ujar Dwikorita.
Dwikorita menyatakan, likuifaksi yang terjadi di Palu adalah tipe yang tanahnya hanyut bersama air. “Suatu massa tanah yang luas yang ikut hanyut bersama air tadi. Ini baru visual dari televisi, itu perlu dilihat lagi,” ujar Dwikorita.
Bahaya dari fenomena ‘tanah bergerak’ ini adalah bangunan akan ambles masuk ke dalam. Hal itu karena airnya terperas ke luar dan tanahnya memadat jadi permukaan tanah turun. Pondasi bangunan ada di tanah itu jadi ikut turun, sehingga bangunannya ambles.
“Sehingga kalau ada bangunan bertingkat, itu yang kelihatan hanya tinggal tingkat tengah dan atas, tingkat bawahnya masuk ke dalam tanah,” kata Dwikorita.
“Jadi itu kekuatannya cukup tinggi, bisa menghanyutkan semua material benda-benda yang ada di permukaan tanah tadi,” papar Dwikorita.
Untuk pemulihan likuifaksi sendiri, Dwikorita menyatakan diperlukannya rekayasa setelah gempa selesai dan tidak ada guncangan-guncangan. Pemulihan tanah pun masih belum dapat dipastikan.
“Tergantung seberapa luas dampaknya. Kalau tidak terlalu luas, bisa. Tapi kalau sangat luas, ya tidak mudah. Rekayasa itu bisa tapi sangat dipengaruhi juga oleh seberapa besar volume dan luas area yang terlikuifaksi tadi,” kata Dwikorita. (Lp6/jie)