Kendari, panjikendari.com — Ratusan nelayan yang tergabung dalam Kelompok Nelayan (Kenalan) Sulawesi Tenggara menggelar aksi protes di Kantor Gubernur Sulawesi Tenggara pada Senin, 14 April 2025. Mereka menolak sejumlah regulasi pemerintah yang dinilai menyulitkan nelayan kecil.
Aksi ini dilatarbelakangi keberatan nelayan atas penerapan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tahun 2015 tentang sistem pemantauan kapal perikanan, serta aturan tahun 2021 tentang Surat Laik Operasi (SLO) dan Surat Keterangan Pendaftaran Kapal (SKPK).
Salah satu poin yang paling ditolak adalah kewajiban memasang Vessel Monitoring System (VMS) bagi kapal perikanan di atas 30 GT mulai 2025. Para nelayan menilai aturan tersebut tidak berpihak pada kondisi ekonomi mereka.
“Kami menolak keras kebijakan ini. Aturan ini harus dikaji ulang dan tidak diberlakukan untuk kapal nelayan kecil di bawah 30 GT,” tegas Nyong Wuna, koordinator lapangan aksi.
Menurut hasil kajian mereka, VMS hanya berfungsi untuk memantau pergerakan kapal dan tidak berkontribusi langsung terhadap peningkatan hasil tangkapan. Padahal, untuk melacak posisi kapal, para nelayan telah menggunakan GPS dan radio kapal.
Selain itu, harga pemasangan VMS yang mencapai Rp13 juta dinilai sangat memberatkan, belum lagi tambahan beban biaya air time fee atau pulsa tahunan sekitar Rp6 juta.
“Beban ini sangat mencekik ekonomi nelayan kecil,” lanjut Nyong.
Ia juga mengkritik kebijakan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) yang dikenakan pada nelayan, serta penyeragaman harga ikan dengan provinsi lain yang dianggap tidak sesuai dengan kondisi pasar lokal di Sulawesi Tenggara.
“Ini menunjukkan ketidakpekaan pemerintah terhadap realita yang dihadapi nelayan kecil. Harusnya negara hadir memberi solusi, bukan menambah beban,” ujarnya.
Salah seorang nelayan, Junaedi, sangat menyayangkan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada nasib nelayan tersebut. “Alatnya mahal, manfaatnya apa buat kami?” tanya Junaedi. Ia menyebut harga satu unit VMS bisa mencapai Rp13 juta, belum termasuk biaya tahunan sebesar Rp6 juta untuk air time fee.
“Kami sudah punya GPS dan radio kapal. Itu sudah cukup. Pemerintah ini kadang bikin aturan dari balik meja, tidak turun tanya kami di laut,” keluhnya.
Nelayan lainnya, Pak Ambo, yang sudah puluhan tahun melaut, mengungkapkan kekhawatirannya. “Ikan makin sulit, harga tidak naik-naik, tapi pungutan dan alat makin banyak. Kita disuruh beli VMS, bayar pajak PNBP, belum beli solar.”
Ia juga menyoroti ketidakadilan dalam penetapan harga ikan yang disamakan dengan daerah lain. “Kami ini jauh dari pasar besar. Jangan disamakan dengan Jakarta atau Surabaya. Biaya kami lebih banyak,” ujarnya.
Para nelayan berharap bisa berdialog langsung dengan Gubernur Sultra Andi Sumangerruka. Namun, saat massa menanti, ternyata orang nomor satu di Sultra itu tidak berada di tempat. Kekecewaan pun meluap.
“Kami datang jauh-jauh, bawa suara dari laut, tapi tak didengar,” kata Rahman, nelayan muda dari Abeli.
Meski tak ditemui gubernur, para nelayan tetap berharap pemerintah membuka ruang dialog yang lebih adil. Mereka meminta agar kebijakan VMS dikaji ulang dan tidak diberlakukan kepada kapal kecil yang justru menjadi tulang punggung ketahanan pangan laut nasional. (*)