Kendari, panjikendari.com – Pagi itu, Mr. Saha, CEO Petani Milenial Kendari, duduk termenung di beranda rumah kayunya: Pondok Jati. Di sampingnya ‘bertengger’ segelas kopi, sementara matanya terpaku pada layar ponsel yang baru saja memutar video pernyataan Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto.
Dalam video tersebut, Prabowo menyampaikan wacana besar: kebijakan impor akan dibebaskan, tanpa lagi diikat oleh sistem kuota seperti sebelumnya. Bagi sebagian orang, ini bisa dianggap langkah pembaruan dalam perdagangan bebas. Namun bagi Mr. Saha, pernyataan itu terdengar seperti lonceng kematian bagi petani dan pelaku usaha lokal di negeri ini.
“Ini pertanda makin gelapnya Indonesia,” ucapnya dengan nada getir.
Di usianya yang masih terbilang muda, Mr. Saha dikenal sebagai sosok vokal yang memperjuangkan nasib petani di Sulawesi Tenggara. Di balik gaya bicaranya yang meledak-ledak, ia menyimpan kekhawatiran mendalam tentang masa depan pertanian Indonesia yang kian dipinggirkan oleh kebijakan yang, menurutnya, lebih berpihak pada konglomerasi impor.
“Kalau kebijakan ini dijalankan, petani-petani kita tidak akan sanggup bersaing. Produk impor datang dengan harga murah, kualitas dikemas bagus, sementara petani lokal berkutat dengan pupuk mahal, infrastruktur minim, dan akses pasar yang sempit,” katanya.
Lebih jauh, Mr. Saha yang juga menjabat sebagai Ketua DPD Pordasi Sulawesi Tenggara, menilai bahwa kebebasan impor tanpa kuota justru akan memperlebar jurang ketimpangan. Sebab, praktik impor selama ini, menurutnya, telah lama dikuasai oleh segelintir pengusaha besar yang memiliki kedekatan dengan penguasa.
“Kuota impor selama ini saja sudah jadi ajang bancakan. Ada pengusaha tinggal tanda tangan saja sudah dapat miliaran. Kalau sekarang dibebaskan, siapa yang diuntungkan? Ya mereka-mereka itu juga. Ini bukan pembebasan, tapi pembiaran. Dan yang dikorbankan adalah petani kecil.”
Tak hanya soal persaingan harga, Mr. Saha juga menyoroti dampak jangka panjang dari ketergantungan terhadap impor. Ia mencontohkan bagaimana Indonesia masih terus mengimpor beras, daging, hingga kedelai, meski secara geografis dan sumber daya, negeri ini sangat mungkin mencapai swasembada.
“Kita bisa kok swasembada beras. Kita pernah punya program besar seperti beras Maknyus yang tujuannya meningkatkan daya saing petani. Tapi itu juga dihancurkan. Siapa pelakunya? Lagi-lagi para pengusaha nakal yang tak mau pasar domestik ini kuat,” katanya.
Baginya, Indonesia memiliki potensi besar untuk berdikari di sektor pangan. Yang dibutuhkan adalah keberpihakan pemerintah terhadap produksi dalam negeri dan kontrol ketat terhadap permainan mafia pangan.
“Seharusnya bukan impornya yang dibebaskan, tapi mafia impornya yang diberantas,” ujarnya tegas.
Dalam situasi yang penuh ketidakpastian ini, suara Mr. Saha menjadi salah satu gema dari ribuan petani lain di pelosok negeri yang khawatir akan nasib mereka. Ia berharap Presiden Prabowo bisa meninjau ulang kebijakan tersebut dan lebih mengedepankan strategi penguatan ekonomi rakyat.
“Mungkin saja maksud Pak Prabowo ingin mengatur, bukan benar-benar membebaskan. Tapi hati-hati, celah seperti ini bisa dimanfaatkan oleh elite pengusaha yang selama ini menguasai impor. Ini harus benar-benar dipertimbangkan, karena menyangkut hidup matinya petani,” katanya.
Ia menatap langit yang mendung. Hujan belum turun, seperti nasib petani yang belum juga mendapat keberpihakan nyata dari negara.
“Kalau negara ini terus begini, petani bukan lagi sekadar terpinggirkan. Tapi bisa punah,” ujarnya lirih. (*)