Mastri Susilo membuka pintu kandang. Seketika ayam-ayam itu berlarian mendekat, seolah tahu sang pemilik datang membawa rezeki. Ia mengenakan kaos putih dan celana pendek hitam. Pagi itu cerah. Udara segar. Kandang ayamnya sederhana, terbuat dari bahan-bahan bekas, berdiri di lahan samping rumahnya di Jalan Banda, Kelurahan Watulondo, Kota Kendari.
Awalnya, ini hanya iseng. “Saya ini kan orang kantoran, pulang kerja kadang melamun sendiri di rumah,” katanya. Kesibukan hariannya sebagai Kepala Perwakilan Ombudsman Sulawesi Tenggara tak selalu menyita waktu. Sejak sang istri tiada, rumah jadi lebih sepi.
“Manusiawi kalau merasa sendiri, makanya saya cari kesibukan yang positif. Daripada melamun, saya pilih beternak ayam.”
Ia memilih ayam kampung unggulan, bukan sapi atau kambing. “Kalau sapi, kambing, kita harus cari makanan, harus mengarit. Kalau ayam ini kan lebih gampang.”
Baru tiga bulan ia serius menggeluti ini. Tapi semangat belajarnya tinggi. “Saya belajar dari YouTube, TikTok. Banyak peternak rumahan yang kasih tutorial.”
Ia memulai dengan modal minimal. Semua bahan kandangnya dari barang bekas. Palet kayu ia pungut di pinggir jalan. Baliho bekas ia manfaatkan jadi dinding kandang. “Yang saya beli cuma atap dan jaring-jaring. Selebihnya gratisan,” ujarnya sambil tertawa.
Kini, kandangnya berukuran 7×13 meter. “Saya mulai dari yang ada. Beli indukan lima ekor, satu jantan. Lalu ada yang butuh uang, saya beli lagi lima ekor. Sebagian saya potong. Sisanya, saya kembangkan.”
Januari lalu, indukan pertama bertelur. Ia coba menetaskan sendiri. Setelah menetas, DOC (day old chick) langsung ia pisahkan dari induknya. “Saya kasih lampu, kasih minum secukupnya. Sesuai teori, indukan yang dipisah dari anaknya bisa bertelur lagi lebih cepat.”
Lalu datanglah Supriadi, temannya. “Ayo jalan ke Alebo,” ajaknya.
Di sana, di Alisa Farm milik Bang Ulun, Mastri belajar beternak skala besar. Ia pulang membawa 85 ekor DOC. Tantangan baru dimulai.
Pelajaran dari Ayam
“Pelihara DOC itu beda. Sensitif. Pakan harus benar-benar dijaga, konsentrat murni. Jangan sampai kehabisan, nanti mereka baku anu,” katanya. Maksudnya, saling mematuk.
Vaksin juga penting. “Musim hujan ini banyak penyakit. Saya vaksin sendiri, belajar dari penjual di Toko Tani. Ada vaksin tetes, ada yang suntik.”
Pernah ia kecolongan. Tiga ayam mati setelah divaksin. “Ternyata pas divaksin sudah sakit. Kalau dibiarkan bisa nular ke yang lain.”
Tapi dari semua tantangan, satu hal yang ia pegang: memulai itu harus dari yang bisa dilakukan. Jangan tunggu sempurna.
“Kadang saya ke pasar, lihat ada box buah bekas, saya minta. Kalau dikasih, Alhamdulillah. Kalau tidak, ya nggak apa-apa. Barangnya juga sudah mau dibuang.”
Soal bau? “Setiap minggu saya semprot EM4. Itu mempercepat fermentasi kotoran ayam. Tidak ada bau. Kalau bau, bisa komplain tetangga. Saya ini kan di tengah perkampungan.”
Lama-lama, dari sekadar iseng, Mastri melihat peluang bisnis.
“Saya mulai berpikir untuk produksi ayam ungkep frozen. Saya orang kantoran, nggak bisa jualan di warung. Jadi saya simpan di freezer, nanti tinggal kirim via online.”
Untuk pakan, ia mulai mencari alternatif. “Saya mau kerja sama dengan rumah makan. Ambil sisa-sisa makanan mereka buat pakan ayam.”
Sekarang ayamnya lebih dari 100 ekor. “Kalau rutin ambil DOC per dua minggu, nanti kita bisa panen berkala.”
Harga DOC Rp12.000 – Rp13.000 per ekor. Kalau sudah besar, satu ekor bisa dijual Rp67.000. Kalau indukan, satu paket (1 jantan, 4 betina) bisa Rp850.000.
“Kalau beternak ayam begini, kita bisa hemat banyak. Bayangkan kalau kita punya lima ekor ayam petelur di rumah. Satu hari lima telur. Sebulan 150 telur. Nggak perlu beli telur di pasar.”
Dari Ayam ke Gerakan Ekonomi
Mastri kini juga menjabat Ketua DPD Perhimpunan Anak Transmigran Republik Indonesia (PATRI) Sultra. Ia melihat, komunitas anak transmigran perlu lebih mandiri.
“Dulu orang tua kita datang ke sini, buka hutan, dikasih lahan. Mereka belajar mandiri dari awal. Tapi sekarang, organisasi ini sering hanya jadi komoditas politik.”
Ia ingin mengubah itu. Ia gagas Gerakan Kampung Unggas Sultra Raya (Geram Gastara).
“Saya lihat, hampir setiap rumah di kampung punya ayam. Kenapa tidak kita organisir?”
Ia membayangkan tiap desa punya kelompok peternak. “Kalau satu orang bisa pelihara 50 ekor, satu kelompok 10 orang, maka satu desa punya 500 ekor.”
Kalau tiap daerah punya 10 kelompok, maka bisa ada 5.000 ekor ayam.
“Lalu kita pikirkan pemasaran. Kita bisa link-kan ke pasar-pasar, rumah makan. Yang penting, produksinya dulu ada.”
Baginya, ini lebih dari sekadar beternak. Ini tentang kemandirian ekonomi.
“Saya ingin orang-orang bisa belajar dari ayam, seperti saya belajar dari ayam. Mulai dari yang kecil. Jangan takut untuk memulai.”
Di kandangnya yang sederhana, Mastri melihat masa depan. Ayam-ayam itu berlarian ke arahnya. Seperti menyambut sebuah mimpi besar yang baru dimulai. (*)