panjikendari.com – Tingkat maladministrasi pada layanan publik dasar di Sulawesi Tenggara (Sultra) tahun 2018 masuk pada zona kuning atau masuk dalam kategori rendah.
Itu berdasarkan hasil survei indeks persepsi maladministrasi (Inperma) yang dilakukan Ombudsman RI secara nasional. Dari 10 provinsi yang di survei, Provinsi Banten memiliki skor indeks maladministrasi tertinggi (5,52) dan Provinsi NTT memiliki indeks maladministrasi terendah (4,87).
Sementara, Sultra berada di urutan ke-9 dengan indeks maladministrasi 5,47 (kategori rendah). Hal ini menunjukkan persepsi kualitas pelayanan publik di Sultra adalah baik selama tahun 2018.
Kepala Perwakilan Ombudsman RI Sultra, Mastri Susilo, menuturkan, survei indeks persepsi masyarakat (Inperma) merupakan lanjutan dari penelitian kepatuhan terhadap standar pelayanan publik yang telah dilakukan Ombudsman RI sejak tahun 2015.
Surevei Inperma ini, kata Mastri, untuk mendapatkan data primer dari pengguna layanan secara langsung dengan cara memetakan tingkat maladministrasi pada layanan publik dasar.
“Survei ini mengukur kenyamanan masyarakat memperoleh info tentang standar layanan dan interaksi masyarakat dengan penyelenggara layanan khususnya pada bidang administrasi kependudukan, kesehatan, pendidikan, dan perizinan,” jelas Mastri.
Sementara itu, Asisten Ombudsman Sultra, Untung, menyampaikan, khusus di Sultra, survei Inperma mengambil lokus daerah Kota Kendari dan Kabupaten Konawe, dengan total responden 280 orang yang ditentutakan berdasarkan sistem kuota sampling.
Survei kali ini baru mengambil dua daerah karena pertimbangan keterbatasan personel. Dua daerah itu, kata Untung, dipilih berdasarkan kategori perkotaan dan perdesaan. Selain itu, keduanya dipilih berdasarkan survei kepatuhan yang masuk zona hijau pada tahun 2017.
“Jadi, Kota Kendari merupakan perwakilan perkotaan sedangkan Konawe mewakili perdesaan. Keduanya masuk zona hijau pada survei kepatuhan tahun 2017,” terang Untung.
Lebih jauh, pria berkacamata ini menjelaskan, survei Inperma untuk melihat tingkat persepsi maladministrasi. Maladministrasi itu sendiri adalah penyimpangan perilaku dan standar pelayanan pada pelayanan publik oleh penyelenggara negara dan pemerintah yang menimbulkan kerugian materil dan immateril.
Indikator penyimpangan standar pelayanan, meliputi, penundaan berlarut, permintaan imbalan, dan penyimpangan prosedur. Variabelnya, yaitu, ketidakjelasan waktu layanan, menunda-nunda pelayanan, pelayanan yang lamban, ketidakjelasan biaya layanan, membayar melebihi ketentuan biaya, membayar diluar ketentuan/permintaan jasa atau barang selain uang, ketidakjelasan alur pelayanan, merubah urutan layanan secara sepihak, serta urutan layanan yang terlalu panjang dan rumit.
Sedangkan penyimpangan perilaku, indikatornya adalah; tidak kompeten, tidak patuh, dan adanya diskriminasi pelayanan. Variabelnya; tidak teliti/cermat, tidak sungguh-sungguh melayani, tidak cepat tanggap/tidak peduli, tidak ramah/sopan, tidak efisien (boros) menggunakan fasilitas kantor untuk keperluan pribadi.
Kemudian, variabel lainnya; pelayanan administrasi berdasarkan hubungan keluarga, hubungan kesukaan, tingkat ekonomi, dan berdasarkan kepentingan pribadi (konflik kepentingan).
“Layanan dasar inilah yang disurvei untuk melihat tingkat persepsi maladministrasi. Karena fokus penelitiannya adalah bidang pendidikan, kesehatan, administrasi kependudukan, dan layanan perisizinan, maka respondennya meliputi guru, pasien RS, dan masyarakat yang berururusan di kependudukan dan perizinan,” kata Untung.
Kata Untung, teknik pengambilan data dalam survei Inperma menggunakan kuisioner dengan metode tertutup yang dilakukan sejak Agustus hingga Oktober 2018. “Metode pengambilan datanya, tertutup. Artinya, saat kita berikan kuisioner, responden tidak tahu kalau kami dari Ombudsman. Jadi, datanya betul-betul valid,” terangnya. (jie)