Oleh: Sawaludin Ntapalalo
(Tenaga Pengajar Pada Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Universitas Halu Oleo)
Kondisi Umum Bisnis Pertambangan Wawonii
Kabupaten Konawe Kepulauan (Pulau Wawonii) merupakan Daerah Otonomi Baru (DOB) hasil pemekaran dari Kabupaten Konawe yang disahkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013. Wilayahnya sangat strategis karena dilalui oleh jalur pelayaran kawasan timur dan barat Indonesia dan berada pada kawasan yang sangat potensial yakni diapit oleh Laut Banda dan Selat Buton yang memiliki potensi sumberdaya keragaman hayati kelautan dan perikanan cukup besar. Kabupaten Konawe Kepulauan juga merupakan kabupaten yang memiliki potensi pertambangan Nikel dan sumberdaya pertanian. Luas wilayah Kabupaten Konawe Kepulauan (Wawonii) adalah sekitar ±1.513.98 Km2 terdiri dari daratan ±867,58 Km2 (86.758 ha), luas perairan (laut) ± 646,40 km2 atau 64.640 ha (4 Mil laut) dan garis pantai 178 km.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Dinas Pertambangan Provinsi Sulawesi Tenggara ada 15 IUP Tambang di Konawe Kepulauan. Apabila ke 15 perusahaan tersebut melakukan operasi penambangan maka pulau Wawonii diambang kerusakan dan potensi pencemaran lingkungan akan semakin tinggi. Sebenarnya, pemerintah Kabupaten Konawe Kepulauan, dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang disusun sejak tahun 2016, pemerintah kabupaten Konawe Kepulauan tidak mengusulkan rencana kawasan pertambangan di wilayah itu. Usaha Pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan Mineral atau Batubara yang meliputi tahapan kegiatan Penyelidikan Umum, Eksplorasi, Studi Kelayakan, Konstruksi, Penambangan, Pengolahan dan/atau Pemurnian, Pengangkutan dan Penjualan, serta pascatambang.
Kegiatan pertambangan selain membawa kemaslahatan untuk banyak orang, tapi juga menyisakan berbagai dampak lingkungan pada masyarakat. Ada banyak pro-kontra terkait kegiatan pertambangan ini karena lama terbarukan dibandingkan dengan kegiatan pertanian. Namun kita juga tidak bisa menafikan keadaan bahwa hasil tambang memang dibutuhkan oleh masyarakat. Masing-masing kegiatan tambang memiliki cara eksploitasi yang berbeda-beda yang mana banyak di antara pengusaha tidak mengindahkan peraturan pertambangan yang berkelanjutan, terutama pengusaha yang bermodal kecil.
Potensi Konflik Bisnis Pertambangan Pulau Wawonii
Potensi konflik masyarakat di sekitar lahan pertambangan nikel pulau Wawonii dipicu oleh ketidakjelasan ganti rugi lahan milik masyarakat oleh perusahaan tambang yang memiliki IUP di wilayah ini. Seperti dilansir dalam berita oleh beberapa media online. Wartawan https://www.mongabay.co.id/ Kamarudin, menuliskan dalam rilis beritanya, pada 6 April 2019 menyatakan bahwa Kabupaten Konawe Kepulauan atau Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara, akhir-akhir ini jadi bahan pembicaraan. Penyebabnya, ribuan warga yang mendiami pulau itu, berbondong-bondong datang ke Kota Kendari, ibukota Sultra untuk demo di Kantor Gubernur Sultra, Jalan Halu Oleo, Poasia. Ada empat kali demo warga. Mereka menuntut, pulau kecil ini terbebas dari pertambangan. Mereka mendesak Gubernur Sultra, H. Ali Mazi, mencabut 15 izin usaha pertambangan (IUP).
Masyarakat Wawonii yang sempat diliput dan diwawancarai oleh wartawan mengatakan, mereka memiliki kebun yang diklaim menjadi lahan tambang salah satu perusahaan yang mulai melaksanakan eksplorasi di wilayah tersebut. Masyarakat yang sudah lama menghuni wilayah tersebut tidak menerima kehadiran perusahaan tambang karena merusakkan tanaman perkebunan milik mereka seperti Jambu mete, Cengkih, dan Pala. Apabila lahan kebun mereka dibabat habis, sumber kehidupan mereka sudah tidak ada lagi.
Salah seorang warga yang bernama Imran menyatakan “Kita tolak tambang sejak 1999”. Waktu itu, baru sebatas sosialisasi. Katanya, di Wawonii, akan dibangun perusahaan besar. Pengetahuan kami untuk gali-gali tanah. Kami belum tahu itu tambang. Setelah berjalan waktu, ada informasi kampung ini akan dirusak, mulai disitu kami larang investor masuk.
Kondisi konflik masyarakat yang sering berulang pada wilayah pertambangan, menurut penulis didasari oleh sosialisasi program baik dari pemerintah sebagai penyelenggara kebijakan pertambangan maupun pemilik usaha tidak berjalan dengan baik. Kondisi ini akan memuncak seperti gunung es yang lama kelamaan menjadi membesar, apalagi nilai jual lahan yang akan dieksploitasi sebagai lahan pertambangan menjadi lebih tinggi dibandingkan sebelum dieksploitasi. hal ini akan menjadi faktor pemicu terjadinya konflik masyarakat petani lokal sekitar tambang dengan investor.
Penerapan pola resolusi konflik dengan berbagai pendekatan sosial dan ekonomi serta penegakan peraturan hukum yang berlaku akan membantu meredam konflik yang muncul di sekitar areal pertambangan.
Sebagai ilustrasi, dari segi hukum, pertambangan di pulau Wawonii melanggar UU No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Pulau-pulau Kecil. Pasal 35 UU tersebut menyatakan, dalam memanfaatkan wilayah pesisir pulau-pulau kecil, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitar. Untuk mengatur lebih jauh penambangan di wilayah pulau kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan menerbitkan Permen KKP No 8 tahun 2019 tentang Penatausahaan Izin Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil dan Perairan Sekitarnya Dalam Rangka Penanaman Modal Asing Dan Rekomendasi Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil Dengan Luas Di Bawah 100 Km2. Sosialisasi aturan seperti ini sangat dibutuhkan untuk menghindari miskomunikasi dan konflik yang akan terjadi di masyarakat.
Kerusakan Lingkungan pada Bisnis Pertambangan
Hampir 34 persen daratan Indonesia telah diserahkan kepada korporasi melalui 10.235 izin pertambangan mineral dan batubara (minerba). Itu belum termasuk izin perkebunan skala besar, wilayah kerja migas, panas bumi, dan tambang galian C (https://www.mongabay.co.id/2012/09).
Kehadiran tambang di pulau Wawoni berpeluang merusak lingkungan masyarakat.Kerusakan secara lingkungan terindikasi daritanaman pertanian dan perkebunan milik masyarakat ditebang untuk jalan tambang, sampai pembuatan pelabuhan menjadi ancaman kerusakan tersendiri bagi pulau itu.Secara ekonomi masyarakat juga terdampak. Selama ini, warga Wawonii hidup dari alam dengan bertani/berkebun dan menangkap ikan ikan laut. Kala lahan-lahan mereka terjual ke perusahaan tambang, warga tak lagi bisa berkebun, sumber ekonomi mereka juga akan hilang.
Sekretaris Jenderal LSM KIARA, Susan Herawati seperti yang dimuat oleh https://www.hukumonline.com/, Kawasan pesisir yang tercemar limbah nikel di Wawonii membuat nelayan harus melaut lebih jauh dari 10 menjadi lebih dari 20 mil. Hal tersebut membuat ongkos nelayan untuk melaut lebih mahal karena jarak yang ditempuh lebih jauh. Selain itu, aktivitas penambangan di pulau Wawonii meningkatkan kerawanan bencana, mengancam sumber air bersih, dan hutan mangrove. Konflik juga kerap terjadi antara perusahaan tambang dengan masyarakat yang menolak penambangan.
Informasi Kerusakan lingkungan akibat pertambangan sudah banyak tersampaikan baik melalui media berita online maupun media televisi. Kontroversi pertambangan nikel di pulau Wawonii menurut hemat penulis harus diselesaikan dengan bijaksana oleh semua pihak yang berwenang. Hal ini penting, karena lokasi pertambangan nikel pulau Wawonii terletak pada wilayah potensi air tanah dan sumber mata air bagi warga di pulau tersebut.
Sebagai acuan dalam pengelolaan lingkungan pertambangan nikel, pemilik tambang atau perusahaan tambang harus mematuhi PERMEN ESDM nomor 26 Tahun 2018 pada Pasal 5 ayat (1) Pemegang IUJP wajib melaksanakan kaidah pertambangan yang baik sesuai dengan bidang usahanya. (2) Kaidah pertambangan yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. kaidah teknik usaha jasa pertambangan yang baik; dan b. tata kelola pengusahaan jasa pertambangan. (3) Kaidah teknik usaha jasa pertambangan yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi: a. upaya pengelolaan lingkungan hidup, keselamatan pertambangan, konservasi Mineral dan Batubara, dan teknis pertambangan sesuai dengan bidang usahanya; dan b. kewajiban untuk mengangkat penanggung jawab operasional sebagai pemimpin tertinggi di lapangan. (4) Tata kelola pengusahaan jasa pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi: a. pengutamaan produk dalam negeri; b. pengutamaan subkontraktor lokal sesuai kompetensinya; c. pengutamaan tenaga kerja lokal; dan d. pengoptimalan pembelanjaan lokal baik barang maupun jasa pertambangan. (5) Menteri menetapkan pedoman pelaksanaan kaidah pertambangan yang baik bagi pemegang IUJP sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Apabila Perusahaan Pertambangan mematuhi aturan tersebut di atas, penulis beranggapan kerusakan lingkungan pertambangan akan menjadi lebih minim dan teratasi dengan baik.
Resolusi Konflik Bisnis Pertambangan Versus Pemilik Lahan Pertanian Tradisional
Sumberdaya mineral bersifat tidak terbarukan (unrenewable resources) maknanya sumberdaya tersebut tidak memiliki kemampuan regenerasi secara biologis sebagaimana halnya pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan dsbnya. Jika sumberdaya ini diekstraksi konsekuensinya pada suatu masa tertentu pasti akan habis (Wibowo, 2005 dalam Malanuang, 2009). Sektor pertambangan seringkali memberikan kontribusi signifikan terhadap struktur perekonomian di daerah-daerah yang kaya sumberdaya mineral di Indonesia bahkan mendominasi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dari sembilan sektor yang diukur kinerjanya.
Telah diketahui bersama bahwa kepentingan kontraktor pertambangan umumnya adalah profit oriented, namun juga dibebani tanggung jawab communitydevelopment (tanggung jawab sosial perusahaan pertambangan umum), berdasarkan ketentuan kontrak karya, sedangkan pemerintah di lain pihakberkepentingan dengan adanya kepastian revenue/pemasukan dari bagian pemerintah (government take) atas hasil dari produk pertambangan baikdari pajak maupun royalti, deadrent (iuran tetap)/iuran produksi, maupun pajak dari perusahaan jasa pertambangan umum terkait, guna memenuhi pemasukan untuk anggaran pendapatan belanja negara di pusat maupun pemasukan asli pemerintah daerah sebagai tanggung jawab publik danmelaksanakan amanah untuk menyejahterakan rakyat, sesuai dengan Pasal33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945(Nugroho, 2018).
Kondisi yang tidak berjalan secara seimbang antara pengelolaan bisnis pertambangan yang mengarah pada profit oriented dengan pelaksanaan tanggungjawab sosial (Cost Social Responsibility) perusahaan pertambangan terhadap masyarakat petani sekitar tambang memunculkan potensi konflik yang sulit untuk diredam. Hal ini sering terjadi pada perusahaan pertambangan yang hanya memikirkan keuntungan ekonomi dari perusahaannya. Untuk memudahkan penyelesaian konflik yang sering mucul di kawasan pertambangan, diperlukan mekanisme resolusi konflik yang berkeadilan bagi masyarakat yang bermukim di sekitar lokasi.
Tipologi konflik sosial di sekitar tambang biasanya bersifat unik, oleh karena itu solusinya juga harus sesuai dengan karakteristik sosial-budaya, ekonomi dan ekologi masyarakat setempat. Pemberdayaan ekonomi masyarakat yang bertumpu pada partisipasi masyarakat dan sumberdaya ekologis setempat merupakan solusi yang efektif bagi pengelolaan potensi konflik menjadi potensi produktif bagi pihak-pihak terkait secara berkelanjutan. Dalam pemberdayaan ekonomi salah satu faktor kunci, selain perbaikan teknologi, manajemen, ternyata penguatan kelembagaan adalah pengembangan jaringan kemitraan dalam pemasaran produk masyarakat. Pemberdayaan ekonomi masyarakat di sekitar tambang terutama untuk mengantisipasi kerawanan pangan, energi dan lingkungan menjadi semakin penting mengingat ada kecenderungan masyarakat di sekitar tambang cenderung terpinggirkan, mereka selain menghadapi rawan konflik, juga ancaman kemiskinan dan ketidakberdayaan.
Konflik yang terjadi di kawasan pertambangan Wawonii melibatkan banyak aktor intelektual dan juga pemegang modal. Apabila ditelaah, maka dapat dikatakan bahwa konflik pertambangan di Kabupaten Konawe Kepulauan terjadi pada dua tataran yaitu tataran makro dan tataran mikro. Pada tataran makro, konflik terjadi pada lingkup horizontal yang lebih luas, mencakup konflik antar pemerintah sebagai pemangku kekuasaan baik itu pemerintah Kabupaten, Provinsi, dan Pemerintah Pusat. Pada tataran mikro, konflik terjadi antara masyarakat setempat dengan perusahaan dan pemerintah setempat, atau dengan oknum spekulan dan aparat.
Konflik pada tataran mikro ini, umumnya terjadi pada tataran lokal yang melibatkan perusahaan legal dan non-illegal dengan masyarakat lokal. Terdapat 3 (tiga) jenis konflik yang terjadi di kabupaten Konawe Kepulauan. Pertama, Regulasi di tingkat daerah terkait aspek teknik tambang yang digunakan oleh para penambang, aspek sosial budaya, aspek perizinan, aspek tata ruang kewilayahan, dan kepastian hukum. Kedua, Terkait tata cara atau teknik, bagaimana sistem eksplorasinya, pengelolaan, reklamasi, dan Pendistribusian hasil tambang (transportasi dan jalan). Ketiga, Resistensi dari masyarakat. Tidak adanya pelibatan masyarakat di sekitar aktivitas lokasi tambang, Tidak adanya kompensasi, Merusak lingkungan, dan Aktivitas lainnya. Penambang yang bekerja di Konawe Kepulauan berasal dari daerah luar, masyarakat lokal belum/tidak dilibatkan dalam kegiatan pertambangan, penguasaan lahan galian yang belum jelas statusnya menurut masyarakat lahan pertanian warga masyarakat di sekitar lokasi tambang akan menjadi rusak akibat aktivitas pertambangan.
Dari uraian tersebut secara garis besar berbagai konflik pertambangan yang terjadi di Kabupaten Konawe Kepulauan dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa bentuk konflik sebagai berikut (adaptasi dari Rachmad Safa’at dan Indah Dwi Qurbani, 2017): a) Berdasarkan sifatnya; Konflik tersebut dapat dibedakan menjadi konflik destruktif dan konflikkonstruktif.
- Konflik Destruktif
Merupakan konflik yang muncul karena adanya perasaan tidak senang,rasa benci dan dendam dari seseorang ataupun kelompok terhadap pihak lain. Kejadian di Kabupaten Konawe Kepulauan merupakan contoh kongkrit dalam kasus konflik destruktif yang terjadi dalam bisnis pertambangan.
- Konflik Konstruktif
Merupakan konflik yang bersifat fungsional, konflik ini muncul karena adanya perbedaan pendapat dari kelompok-kelompok dalam menghadapi suatu permasalahan. Konflik ini akan menghasilkan suatu konsensus dari berbagai pendapat tersebut dan menghasilkan suatu perbaikan. Dalam konflik yang bersifat konstruktif, masyarakat memprotes keberadaan aktivitas tambang terutama, menurut keterangan masyarakat sekitar tambang bahwa lahan mereka yang selama ini secara turun temurun menjadi lahan pertanian tempat menggantungkan hidup akan diambil alih oleh perusahaan tambang karena sudah masuk dalam kawasan pertambangan. Dalam beberapa kasus yang terjadi di daerah tersebut, aktivitas pertambangan dianggap sebagai sebuah ancaman terhadap stabilitas sosial kemasyarakatan dibandingkan nilai ekonomis yang akan mereka dapatkan.
Dalam proses penyelesaian konflik, permasalahan konflik diidentifikasi secara bertahap dimulai dengan penelusuran pihak-pihak yang terlibat, faktor penyebabnya serta hubungan di antara pihak-pihak. Hal ini penting dalam menggambarkan konflik berdasarkan sejarah terjadinya sehingga berguna untuk merumuskan jalur penyelesaian terhadap konflik. Penyelesaian konflik bertujuan untuk memfasilitasi proses pembuatan keputusan oleh kelompok-kelompok yang bersengketa, sehingga sedapat mungkin menghindari penyelesaian masalah melalui jalur hukum.
Mempelajari isu konflik dengan kecepatan dalam merespons situasi konflik dapat diyakini akan mampu merekayasa agar konflik tidak berkembang menjadi konflik kekerasan. Kekerasan tidak akan terjadi ketika isu-isu konflik yang berkembang segera diatasi, baik oleh pemerintah Kabupaten Konawe Kepulauan maupun oleh kepolisian setempat. Penghentian sementara penambangan oleh pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi merupakan solusi yang tepat dalam situasi konflik terbuka, yang ditindaklanjuti dengan melakukan kajian secara menyeluruh mengenai potensi sumber daya alam, menemukan regulasi yang mampu mengakomodasi banyak kepentingan, dan mengelola sumber daya alam. (**)