Oleh:
Rosmawati Rasyid, M.Kes
(Dosen Stik Avicenna Kendari)
Teka-teki nama-nama menteri Kabinet Indonesia Maju sudah terjawab. Presiden RI terpilih Joko Widodo secara resmi mengumumunkan 34 nama menteri di Istana Merdeka Jakarta, Rabu (23/10/2019).
Jutaan orang dalam dua bulan terakhir memang didera penasaran soal figur-figur menteri yang mengawal khusus kebijakan pembangunan pasangan Joko Widodo-Mar’ruf Amin hingga tahun 2024 nanti.
Diskusi isu nama-nama calon menteri menggelinding bak bola salju ke tengah pusaran manusia. Proses uji publik secara politis sengaja diciptakan guna melihat dan mengukur sejauhmana tingkat akseptasi publik terhadap calon-calon menteri. Publik pun bereaksi, ada yang merespon positif, namun tak sedikit pula sejumlah figur dihantam badai karena tersangkut kasus penegakan hukum.
Di tengah kepungan interes politik, Jokowi menegaskan berulang-ulang tetap mengacu pada berbagai indikator maupun pertimbangan rasional dalam memilih figur-figur menteri yang bakal mengurus 260 juta jiwa penduduk Indonesia ini.
Hasilnya, selain memunculkan nama-nama baru, Presiden Jokowi juga melaunching perubahan nomenklatur empat kementerian. Misalnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berubah nama menjadi Kemendikbud dan Pendidikan Tinggi.
Lalu nama baru Kementerian Koordinasi Maritim dan Investasi. Kemterian Pariwisata juga mengikuti bidang ekonomi kreatif. Begitu pun kementerian kehutanan digabung dengan lingkungan hidup.
Masyarakat tentu berharap banyak agar komposisi kabinet baru mampu memunculkan hawa segar dalam penanganan masalah-masalah nasional baik seputar pemulihan iklim investasi maupun stabilitas keamanan negara.
Perdana Dokter ‘Jenderal ‘
Dari 34 menteri baru Kabinet Indonesia Maju sedikit tampak bertabur jenderal, sebagai personality yang bergelut di bidang kesehatan, maka penulis akan menyorot kehadiran dr H Terawan Agus Putranto sebagai penyambung estafet kepemimpinan Nila F Moeloek di Kementerian Kesehatan RI.
Cukup unik sosok kali ini. Pria kelahiran Yogyakarta 5 Agustus 1964 itu selain berprofesi dokter juga berlatar belakang anggota TNI berpangkat Mayor Jenderal. Gelar dokter diraih di kampus Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
Dalam sejarah sosok menkes RI, baru kali ini lingkup kemenkes juga dipimpin dokter berlatar belakang anggota TNI. Sebelumnya menkes dijabat dari kalangan profesional maupun akademisi.
Berkiprah sebagai tenaga medis, Terawan sempat memperkenalkan metode praktik cuci otak bagi penderita stroke. Metode itu disebut brain flushing, tertuang juga dalam disertasinya bertajuk “Efek Intra Arterial Heparin Flushing Terhadap Regional Cerebral Blood Flow, Motor Evoked Potentials, dan Fungsi Motorik pada Pasien dengan Stroke Iskemik Kronis”.
Metode ini tak luput dari dari pro kontra. Namun dia mampu membuktikan pengidap stoke bisa sembuh selang 4 – 5 jam pasca operasi. Bahkan metodenya justru dipatenkan oleh negara Jerman dengan nama Terawan Therapy.
Yang bikin Sensasional lagi ketika dia mendiagnosis artis Ashanty mengidap penyakit Autoimun atau sejenis penyakit di mana sistem kekebalan tubuh menyerang orang itu sendiri. Kerap tampil sensasional dalam karir dokternya, Terawan mendapat apresiasi berupa amanah menjadi Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Daerah (RSPAD) Gatot Subroto Jakarta.
Bahkan kini peraih penghargaan Hendropriyono Strategic Consulting (HSC) dan dua rekor MURI sekaligus sebagai penemu terapi cuci otak dan penerapan program Digital Substraction Angiogram (DSA) terbanyak, kini mendapat tugas berat dari Presiden Jokowi guna menuntaskan permasalahan kompleks di bidang pembangunan kesehatan.
Isu Strategis Kesehatan
Yang menarik disimak pernyataan singkat Terawan Agus Putranto usai bertemu presiden. Yaitu, dirinya diberi tugas untuk mengatasi masalah kisruh BPJS dan penyakit stunting yang sekarang menjadi topik sentral dalam penanangan kesehatan nasional.
“Nanti urusan stunting, industri kesehatan, layanan kesehatan dasar, tata kelola BPJS berada di wilayah beliau,” kata Jokowi usai memperkenalkan dokter Terawan sebagai menteri kesehatan di beranda Istana Merdeka, Rabu (23/10/2019) pagi.
Dari statement Presiden Jokowi secara implisit mengisyaratkan bahwa kompleksitas penanganan sektor kesehatan cukup menantang. Menangani penyakit tidak semata bicara pengobatan, tetapi mulai dari sistem pelayanan hingga ketersediaan fasilitas kesehatan mesti bersifat komplementer.
Sejauh ini berbagai ‘pesan’ tugas berat untuk Menteri Kesehatan yang baru relatif bukan perkara asing karena sudah menjadi bagian dari titik sentral kemenkes selama ini. Sebut saja masalah stunting yang hingga saat ini belum dapat terpecah penanganannya.
Secara statistik, WHO sudah menetapkan batas ambang prevalensi stunting sebesar 20 persen. Ironisnya, Indonesia sebagai negara dengan kekayaaan sumberdaya alam justru prevalensi stunting tembus 36, 43 persen di tahun 2015. Artinya lebih dari sepertiga bayi atau 8,8 juta bayi di Indonesia mengidap stunting.
Angka itu menempatkan Indonesia sebagai negara kedua tertinggi kasus stunting di bawah negara Laos yang mencapai 43, 89 persen. Bahkan pantau Status Gizi (PSG) tahun 2017 menyebut dalam 1.000 hari pertama sebenarnya merupakan usia emas bayi, tetapi kenyataannya masih banyak balita usia 0-59 bulan pertama justru mengalami masalah gizi.
Bagaimana dengan wilayah Sulawesi Tenggara. Data Dinas Kesehatan Provinsi Sultra menemukan 36 kasus stunting tersebar di Sultra. Dan, data dihimpun Lakodata beritagar, id menyebut di Kabupaten Buton Tengah prevalensi stunting mencapai 48, 8 persen di tahun 2017. Artinya meningkat dari sebelumnya yang hanya 41,5 persen.
Kabupaten Buteng menempati urutan kelima dari 10 kabupaten di Indonesia yang memiliki prevalensi stunting tertinggi. Sedangkan data terbaru 2019, Kabupaten Kolaka juga masuk radar pantau kasus serupa.
Berikutnya, persoalan industri kesehatan menjadi titik berat perhatian Menkes baru. Problem industri kesehatan cukup vital diperhatikan karena nyaris triliunan rupiah harus ‘dibuang’ ke luar negeri sekedar untuk membeli kesehatan. Itu akibat standar pelayanan kesehatan di Indonesia belum memadai.
Indnesia memang dikenal jagonya impor pangan. Tetapi sebaliknya kita justru cukup banyak mengekspor kesehatan. Komisaris Utama PT Bundamedik, Ivan Sini mengkalkulasi sekira Rp 7,5 triliun uang tiap tahun keluar untuk membeli kesehatan di negeri orang.
Dari tahun ke tahun jumlah fasilitas kesehatan kita bertambah, tetapi 95 persen fanyankes produk impor negara luar. I Gede Made Wirabrata, Direktur Penjualan Alat Kesehatan dan PKRT, Kemenkes, menjelaskan, saat ini 95 persen alat medis di Fasyankes Indonesia masih diimpor, dan baru 5 persen peralatan medis yang dipenuhi produsen lokal.
Peliknya persoalan ini terjadi karena kemampuan Indonesia terhadap pengembangan teknologi di dunia medis di beberapa alat kerja medis canggih, seperti diagnostik yang membutuhkan keakuratan tinggi baru bisa dipenuhi oleh negara lain seperti MRI, XRay Indonesia belum bisa buat. Termasuk juga Obat radioterapi.
Berikutnya, masalah layanan kesehatan dasar. Itu juga masalah menarik didiskusikan. Bagi penulis melihat empat masalah mendasar dalam pelayanan kesehatan yaitu faktor akses, kapabilitas, kapasitas dan keterjangkauan.
Bicara akses misalnya, banyak rumah sakit dengan berbagai fasilitas kesehatan serba canggih beserta tenaga spesialisnya, tetapi hanya berpusat di kota-kota besar. Nah bisa dibayangkan bila masyarakat pedalaman mau berobat ke kota, tentu beban biaya yang harus dikeluarkan tidak sedikit untuk ukuran masyarakat kecil.
Bagaimana dengan faktor kapabilitas. Secara kuatitas jumlah dokter umum kita sudah relatif ‘gemuk’. Tetapi jumlah dokter spesialis masih kurang, khususnya dokter spesialis yang menangani kasus-kasus medis yang tergolong langka.
Soal faskes ini masuk rana kapasitas. Sebagian rumah sakit kita belum memiliki peralatan medis memadai. Kalau pun ada sangat terbatas kemampuannya menangani pasien dalam jumlah banyak.
Terakhir keterjangkauan artinya sebagian masyarakat tidak punya uang untuk menjangkau pelayanan kesehatan tingkat lanjutan. Bisa dibayangkan besaran biaya untuk mengobati penyakit jantung, cuci darah dan sebagainya.
Tugas lain menkes baru adalah membenahi tata kelola BPJS Kesehatan. Masalah itu sempat membumi dan menjadi bahan diskusi alot elemen masyarakat karena anggaran BPJS malah defisit hingga Rp 10 triliun.
Statistik menyebutkan jumlah penduduk miskin menurun, tetapi pengguna kartu Jaminan Kesehatan Nasional meningkat. Intinya banyak ‘PR’ yang harus dituntaskan dalam tata kelola BPJS kesehatan.
Dari kebijakan anggaran, langkah Presiden Jokowi patut diapreasi karena tahun 2020 nanti anggaran pos kesehatan untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) Program JKN sudah disiapkan sebesar Rp 48, 8 triliun. Artinya dua kali lipat dibanding tahun 2018 yang hanya Rp 26, 7 triliun.
Sedangkan secara kesluruhan anggaran kesehatan naik menjadi Rp 132 triliun atau lima persen dari belanja negara. Tahun 2020, pemerintah pusat tetap fokus pada perbaikan layanan dan akses kesehatan, khususnya faskes tingkat pertama plus dukungan tenaga medis berkualitas.
Presiden Jokowi juga menekankan agar anggaran kesehatan mendukung kegiatan program promotif dan preventif terkait pemenuhan gizi dan imunisasi balita dan upaya menekan angka penyakit tidak menular.
Yang pasti publik luas menaruh harapan besar pada sosok Terawan Agus Putranto sang dokter ‘cuci otak ‘ guna melakukan pembenahan maupun revitalisasi pembangunan kesehatan di segala aspek. Semoga gebrakan sensasional Menkes Baru bisa memberi angin segar bagi dunia kesehatan di Indonesia. Good Luck dok! (**)